Januari 05, 2010

Setelah Beberapa Lama Vakum...

Akhirnya Edu-face mencoba kembali eksis setelah beberapa lama blog ini mengalami permasalahan dengan script nya.......Silahkan anda cek bagian resume untuk melihat catatan kecil saya..he he he he..
Untuk kali ini saya meminta maaf kepada pihak-pihak yang merasa dirugikan (wew)..dan blog-blog yang menjadi sumber data dan sumber inspirasi saya mengenai pemikiran-pemikiran tentang pendidikan di Indonesia, diantaranya Mas Akhmad Sudrajat dan Prof. Dr. H. Endang Komara, M.si..anda berdua memiliki ilmu yang hebat..saya sudah mencoba mengirim PM kepada anda berdua tetapi sering mengalami eror dalam pengirimannya.... sniff sniff

Selengkapnya...

Dinamika Pendidikan Dalam Menghadapi Tantangan Global Oleh: Prof. Dr. H. ENDANG KOMARA, M.Si

Pendahuluan
Seperti kita ketahui bersama, bahwa problem dan tantangan pendidikan nasional dalam memasuki globalisasi harus dihadapi dengan pendekatan dan metode yang sesuai dengan kondisi masyarakat dan tuntutan perubahan di masa depan. Fenomena yang terjadi pada dunia pendidikan di era global ini adalah selalu tertinggal jika dibandingkan dengan perkembangan teknologi, informasi dan dunia bisnis. ’’Sebab dunia pendidikan tidak selalu dapat mengembangkan dirinya atas dasar rugi-laba dan prinsip efisiensi semata. Pendidikan juga mengemban visi kemanusiaan.’’ (Suyanto, 2008:2). Di era otonomi pendidikan, masih banyak pihak terutama sekolah dan pemerintah daerah, belum memahami apa yang seharusnya dilakukan. Padahal menurut UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, banyak hal yang seharusnya menjadi tugas daerah dalam mengelola pendidikan dasar dan menengah. Yakni berkaitan dengan manajemen, anggaran, kurikulum, pengawasan, evaluasi, pembinaan karier guru, pengendalian kualitas, dan pendirian sekolah.
Ada baiknya para petinggi berkaca pada negara-negara yang telah menerapkan otonomi pendidikan. Setidaknya ada 8 (delapan) tujuan yang saling berkaitan yang mampu mendorong pembaruan. Yakni: (1) akselerasi pembangunan ekonomi melalui modernisasi institusi, (2) peningkatan efisiensi manajemen, (3) realokasi tanggung jawab keuangan, (4) penumbuhkembangan demokrasi, (5) peningkatan pengawasan oleh daerah melalui deregulasi, (6) pengenalan sistem pendidikan berdasarkan kekuatan pasar, (7) netralisasi kompetensi antarpusat kekuatan yang berpengaruh pada pendidikan, dan (8) peningkatan kualitas pendidikan. Sejumlah pilihan bentuk pengelolaan otonomi pendidikan. Misal manajemen berbasis sekolah dan adanya jembatan antara dunia akademis dan profesional. Konsep link and match dunia pendidikan dan dunia kerja selama ini belum optimal karena adanya sejumlah kendala. Yakni belum bisa melakukan standarisasi outcome perguruan tinggi, sulitnya memprediksi jenis pekerjaan yang akan hilang dan muncul dalam kurun waktu lima tahunan, adanya perbedaan misi dan visi antara perguruan tinggi dan pasar kerja.
Hal tersebut diperlukan transformasi nilai-nilai agama dan pendidikan. Pengembangan pendidikan yang berorientasi pada penegakkan moralitas dapat dilakukan dengan mengembangkan tujuan, materi, metode, dan evaluasi. Juga hendaknya pendidikan nasional ke depan lebih mengembangkan kecerdasan multidimensional. Paradigma baru mengenai kecerdasan perlu dikembangkan. Yakni menyangkut kecerdasan visual, verbal, logika, kinestetika, musikal, interpersonal dan intrapersonal.

Dinamika Pendidikan
Pendidikan masih dipercaya sebagai proses yang mampu memompa tenaga produktif bangsa kita. Tenaga produktif (productive/pra’daktiv force/fo:s) adalah suatu kemampuan masyarakat untuk menghasilkan suatu bentuk tindakan dan produk-produk baik yang bersifat ekonomis-teknologis maupun intelektualitas. Umumnya tenaga produktif masyarakat lebih banyak dikenal sebagai ilmu pengetahuan dan teknologi. Ketika masyarakat semakin mengalami kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, maka di dalamnya banyak individu yang mendapat kemudahan hidup, kesejahteraan, dan kemudahan untuk mengekspresikan kemanusiaannya. Dalam menghadapi perkembangan sosial tersebut, UNESCO berusaha mengakomodasi tuntutan sosial pendidikan dengan menegaskan pilar-pilar yang direkomendasikan dalam dunia pendidikan, yaitu: learning/leuning to learn, learning to know, learning to do, learning to be, learning to live together. Di Indonesia, pilar-pilar tersebut belum dapat ditegaskan, bahkan dari sudut pandang wacana saja masih belum terdengar. Padahal prinsip pendidikan tersebut sangat komprehensif dan jika dapat diterapkan dengan benar dan konsisten akan mampu menjadikan anak didik menjadi insan yang selain menguasai informasi dan ilmu pengetahuan juga memiliki tanggung jawab moralitas bangsa Indonesia. Murid memang bukan hanya harus memiliki pengetahuan, melainkan juga mampu menerapkannya dalam masyarakat. Selain itu, mereka juga harus mampu melihat realitas terdalam. Dengan demikian, mereka juga harus mampu terlibat langsung dalam masyarakat.
Sebagaimana terjadi setiap tahun, menjelang pergantian tahun ajaran baru, isu pendidikan mahal kembali mencuat. Tentu saja pendidikan mahal bukanlah suatu hal yang diinginkan oleh kebanyakan orang, terutama kalangan masyarakat bawah. Bagi kalangan menengah ke atas, pendidikan mahal barangkali bukanlah masalah, bahkan dianggap sebagai kewajaran karena mungkin itu tuntutan globalisasi. ’’Mana mungkin bisa berkualitas kalau tidak mahal”, begitu kata mereka. Pada kenyataannya, anak-anak konglomerat, memang jarang yang sekolah di dalam negeri, yang dianggapnya ’’murahan’’, tetapi lebih senang sekolah di luar negeri, atau sekolah dalam negeri yang tergolong elite dan berfasilitas enak dan nyaman. Bagi kalangan ekonomi atas, anak para konglomerat dan pejabat, pendidikan tentu saja bukan hanya untuk meningkatkan status ekonomi (mobilitas vertikal), melainkan lebih bermakna sebagai prestise ataupun penegasan gaya hidup, memperluas pengetahuan budaya untuk bisa sepadan dengan budaya Barat yang dianggap sebagai patokan budaya dan peradaban. Persepsi budaya seperti ini bisa kita lihat di kalangan artis-selebritis, sebuah representasi kaum kelas atas, kalangan yang hidupnya diabdikan untuk merayakan ’’gaya hidup’’ (life skill) sebagai cerminan kesadaran kelas ekonomi yang mendominasi. Berbeda dengan mayoritas orang miskin yang dalam kesehariannnya harus menghadapi masa sulit dalam memenuhi kebutuhan hidup. Bagi kalangan ekonomi bawah ini, pendidikan bermakna bukan sekadar prestise sosial, melainkan lebih banyak sebagai alat mobilisasi sosial ke atas, yaitu meningkatkan kecakapan agar menghasilkan pendapatan ekonomi yang lebih baik. Pendidikan adalah untuk mengondisikan tenaga berpengetahuan dan berketerampilan sebagai modal untuk dijual ke bursa kerja sehingga akan mendapat penghasilan lebih dibanding orang yang tidak berpendidikan dan yang hanya mengandalkan tenaga fisik, seperti buruh, tani, dan lain-lain.
Sebagaimana dilaporkan Human/c’hju:man Development/di’velapment Index/indeks (HDI) atau Indeks Pembangunan Manusia tahun 2003 lalu, Indonesia berada dalam urutan ke-112 (0,682) dari 175 negara. Posisi ini jauh di bawah Singapura yang ada di posisi ke-28 (0,888); Brunei Darussalam ke-31 (0,872); Malaysia ke-58 (0,790); Thailand ke-74 (0,768); dan Philipina ke-85 (0,751). Betapa mengenaskan! Dalam kaitan ini, mutu pendidikan juga berkaitan dengan pemerataan akses serta lemahnya alokasi anggaran. Kedua hal itulah yang membuat pendidikan menjadi mahal, hingga otak harus dipindah ke dengkul, bukan di kepala.
Pendidiikan selalu dipercaya untuk membentuk masyarakat agar dapat menjadi pribadi yang dapat berpartisipasi dalam pembangunan. Tapi, idealitas ini tampaknya akan sangat jauh bila kita melihat apa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Cita-cita untuk menciptakan manusia yang lebih baik seakan-akan hanyalah ilusi. Bahkan, kita gagap menghadapi perubahan yang cepat. Dan pendidikan tidak bisa menjawab sama sekali kecenderungan itu. Kebijaksanaan pemerintah dalam pendidikan justru membatasi akses rakyat untuk mendapatkannya. Kebijakan privatisasi pendidikan telah mendiskriminasikan rakyat dalam memperoleh pendidikan, hanyalah golongan masyarakat yang berduit saja yang dapat bersekolah dan memperoleh pendidikan. Jelas asumsi yang dipakai adalah filsafat ketidakadilan. Dana konpensasi kenaikan harga BBM untuk pendidikan dan kesehatan tidak akan cukup efektif untuk mengurangi dampak privatisasi pendidikan yang telah dilakukan jauh-jauh hari dan tidak juga akan mampu membayar pemiskinan rakyat akibat kenaikan harga BBM lalu yang diikuti dengan harga-harga lainnya, juga kebijakan yang lain. Dalam kondisi worst-educated seperti itulah, tenaga produktif rakyat sebagai energi diharapkan dapat membangun kemajuan bangsa.
Sebenarnya, pesimisme terhadap pendidikan atau sekolah yang tidak mampu mengubah keadaan hidup sudah lama dilontarkan, termasuk oleh pakar pendidikan sendiri. Bahkan sekolah dianggap hanya membuat generasi muda terbelenggu dan membodohi masyarakat. Mereka yang apatis itu bukan cuma orang biasa, melainkan juga para filsuf dan tokoh sejarah. Everett Reimer menyatakan bahwa ’’school/sku:l is dead’/ded’, dan Ivan Illich menggagas ’’deschooling/diskuling society’’/sa’saiati’. Sejumlah penggagas lain juga melontarkan pesimisme mereka pada lembaga sekolah. Buku-buku top atau best seller seperrti dari Robert T Kiyosaki (2000) banwa: ’’If you want to be rich/ritj and happy/hepi, don’t go/gou to school’’ (bila anda ingin kaya dan bahagia jangan sekolah), dan ‘’Rich dad, poor/pua dad juga menyuarakan pesimisme terhadap sekolah formal yang saat ini sulit dijangkau oleh rakyat. Di Indonesia, Andrias Marefa (2002) menulis, ‘’Sekolah saja tidak pernah cukup’’, dan ‘’Sukses tanpa gelar’’. Darmaningtyas menulis tentang ’’Pendidikan yang memiskinkan’’, ’’Pendidikan rusak-rusakan’’; Edy Zageus menulis ’’Kalau mau kaya, ngapain sekolah’’, dan sebagainya.
Masalahnya, dimana pun pendidikan tidak pernah berdiri sendiri tanpa terkait secara dialektis dengan lingkungan dan sistem sosial tempat pendidikan diselenggarakan. Meskipun demikian, pendidikan selalu dipercaya untuk membentuk masyarakat agar dapat menjadi pribadi yang dapat berpartisipasi secara produktif dan kreatif dalam pembangunan. Strategi pendidikan harus dipilih agar tercipta sistem dan metode pendidikan yang mampu menjawab persoalan, dan bukannya hanya menjadi pendukung sistem ekonomi – politik yang kini semakin tidak berpihak pada rakyat dan menjauhkan individu di dalamnya dari kemanusiaan.
Saat ini, ketika sistem yang ada masih ’’rusak-rusakan’’, animo orang tua untuk menyekolahkan anak masih sangat besar. Hal tersebut terjadi karena pendidikan merupakan kebutuhan dasar bagi setiap manusia adalah kebutuhan. Namun begitu, sebagian orang tua tersiksa dengan fakta mahalnya biaya masuk yang ada. Bahkan sebagian lagi juga terpaksa menekan keinginan untuk menyekolahkan anaknya. Alasan yang mereka gunakan, selain merasa mustahil untuk dapat membiayai anaknya, karena anggapan bahwa semakin banyak orang bersekolah ternyata juga tidak dapat mengubah keadaan. Watak dan tindakan elite politik dan pemerintah yang tetap saja menyengsarakan rakyat menambah keyakinan rakyat bahwa banyaknya orang-orang pintar dan sekolah tinggi ternyata juga tak kunjung memunculkan kondisi bangsa yang baik, justru malah merusak dan menambah penderitaan rakyat.
Tampaknya kearifan dan pengetahuan tidak perlu didapat dari sekolah. Pada kenyataannya, sekolah hanya menonjolkan gedung-gedung mewah tetapi dikomersialkan. Model pendidikan yang ada juga mengasingkan komunitas sekolah dari realitas masyarakat. Bukanlah, dengan demikian, untuk pintar dan menjadi manusia yang berilmu dan mampu menghadapi masa depan tidak perlu masuk sekolah. Seorang antropolog dari Norwegia, Oyind Sandbukt, yang pernah mengadakan penelitian di kalangan Suku Kubu di Jambi mengungkapkan tentang sosialisasi, transmisi pengetahuan tentang kehidupan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Ditunjukkan oleh sang antropolog bahwa suku yang dianggap primitif atau terasing ternyata memiliki pengetahuan yang mengagumkan tentang lingkungan hidupnya di hutan tropis. Dalam hal ini, pengetahuan yang sudah menjadi satu paket untuk siap hidup di hutan belantara, tentunya diperoleh melalui proses belajar yang panjang dan dikukuhkan dalam ’’kurikulum’’. Ketika sebagian orang Kubu ini ’dimukimkan kembali’ seperti pada umumnya, maka tiba-tiba mereka tercerabut dari akar kehidupan yang paling dalam. Anak-anak perdesaan, pedalaman, nelayan, sebagian di kota, adalah anak-anak pinggiran yang luput dari perhatian kurikulum. Mereka terbiasa belajar sambil bekerja.
Pandangan ekstrem bahwa kita tidak butuh sekolah tentunya tidak dapat dilihat sebagai pesimisme, tetapi harus dipandang sebagai kritik pada dunia pendidikan kita. Realitas sosial harus masuk dalam dunia pendidikan. Artinya, semua orang harus dapat bersekolah dan semua orang harus dapat mengeskpresikan kepentingannya dalam dunia pendidikan. Pendidikan harus menjadi milik masyarakat, tanpa batas-batas kelas, ras, agama, maupun bentuk fisik (cacat atau tidak). Intinya, memperbaiki pendidikan dimulai dengan membuka komunitas pendidikan bagi realitas sejati masyarakat agar pendidikan mampu melihat apa yang terjadi, lalu memberi jawaban bagi permasalahan yang ada. Mengintegrasikan realitas sosial ke dalam praktik pendidikan akan membuat keluaran pendidikan tidak sekedar menghafal dan tahu banyak informasi pengetahuan, tetapi juga akan sanggup memberikan nilai praktis atas informasi yang diperolehnya. Ini sesuai dengan ungkapan Paulo Freire (1972) yang menegaskan bahwa mengajar bukan sekadar memindahkan pengetahuan dengan hafalan. Mengajar tidak bisa direduksi menjadi mengajar siswa saja, tetapi mengajar baru menjadi berfungsi bila siswa belajar untuk belajar (learn to learn). Artinya, siswa sanggup untuk belajar alasan (why) dari objek dan isi yang dipelajari. Siswa belajar untuk kreatif dan mandiri. Mereka harus menerjemahkan dan menjelaskan problem nyata yang sedang dihadapi dirinya maupun masyarakatnya.
Untuk membebaskan diri dari belenggu penindasan model pembelajaran lama, perlu dimumculkan model pendidikan ini. Kepada peserta didik tidak hanya diberikan contoh, teori sekaligus rumus, tetapi juga disertai dengan berbagai perilaku pemahaman (act/aekt of cognition/kog’nijan). Menerjemahkan muatan dan isi pelajaran ke dalam realitas sosial akan menjadi entry point dari apa yang disebut Freire sebagai pendidikan terhadap masalah (problem/prablem possing/posem education/edju’keijen). Untuk apa ada pendidikan kalau masalah kemanusiaan tetap bercokol di atas bumi.

Tantangan Global
Seorang futurolog yang cukup terkenal, Alvin Tofler (1989) menggunakan istilah ’kejutan masa depan’ (future/fju’ta shock) untuk menggambarkan situasi sekarang yang membuat kita terlempar pada suatu kondisi di mana kita mengalami ’’tekanan yang mengguncangkan dan hilangnya orientasi individu disebabkan kita dihadapkan dengan terlalu banyak perubahan dalam waktu yang terlalu singkat’’. Itulah situasi yang persis kita alami di Indonesia. Perubahan berskala besar dan cepat ternyata kita respons secara lambat. Dalam bidang pendidikan kita tertinggal jauh; jangankan dengan negara-negara besar; kita masih berada di bawah Malaysia, Vietnam, India yang beberapa tahun yang lalu kalah kualitasnya dengan pendidikan kita. Tetapi sampai kapan pun pendidikan sebagai suatu upaya menghadapkan manusia (peserta didik) pada realitas yang terus saja berubah saat ini sangat diharapkan perannya untuk mampu mengikuti arus zaman, bukan berarti untuk mengikis kemanusiaan melainkan justru untuk menemukan kondisi air kehidupan yang memungkinkan jiwa-raga bangsa berenang dengan indah. Globalisasi adalah arus utama yang membawa dampak mahahebat terhadap ruang waktu yang mengalami percepatan atau terjadinya dalam bahasa Anthony Giddens (2002) time/taim-space/speis-distanziation/dis’teistsisen. Tentu saja interaksi manusia dengan teknologi, manusia dengan manusia lain, semakin intensif: makna baru didapat dari objektivikasi baik rasional maupun irasional karena perkembangan basis material, Iptek yang terus berubah.
Tugas pendidikan adalah membawa generasi ini mampu merengkuh mekanisme yang lebih dekat agar dalam menghadapi kontradiksi alam selalu mengalami perubahan. Globalisasi sebagai proses terkait dengan globalution, yakni paduan dari kata globalization dan evolution/i:val’lu:jen. Dalam hal ini, globalisasi adalah hasil perubahan (evolusi) dari hubungan masyarakat yang membawa kesadaran baru tentang hubungan atau interaksi antarumat manusia. Evolusi pemikiran ke arah kematangan dan kemajuan yang mendorong produktivitas dan kreativitas ditimpakan pada pendidikan. Dalam bidang ekonomi, secara umum globalisasi disebabkan oleh penurunan hmbatan dalam perdagangan dan investasi serta kemajuan teknologi. Kenichi Ohmane (1996) menyebutkan faktor-faktor globalisasi sebagai 4 ’’I’’ (Investasi, Industri, Informasi, Individual). Perkembangan investasi terjadi karena perkembangan pasar modal yang menjadikan negara maju memiliki kelebihan modal untuk melakukan investasi secara meluas. Industri juga mengalami pengglobalan disebabkan oleh strategi perusahaan multinasional modern yang tidak lagi dibentuk dan dikondisikan oleh alasan kenegaraan. Informasi juga dipicu oleh perkembangan teknologi yang membuat manusia menemukan cara pandang baru yang memperluas perasaan dan interaksi global. Sedangkan individu juga mengalami pemaknaan baru; dari sudut pandang ekonomi kapitalis, individu sebagai konsumen mengalami perubahan orientasi secara global, terutama akses yang lebih baik terhadap informasi gaya hidup. Kapitalisme global membawa paham liberalisme dan individualisme untuk menciptakan stabilitas ekonominya.
Realitas global yang berkembang sekarang ini adalah pendidikan itu sendiri. Karena globalisasi telah membawa doktrin yang membentuk masyarakat, peserta didik dan juga pengajar tidak luput dari doktrin global. Singkatnya, sistem dan budaya pendidikan yang berkembang juga telah terhegemoni oleh perkembangan globalisasi. Globalisasi sebagai istilah tersendiri juga paling banyak diterima dan diucapkan di dunia pendidikan. Meskipun istilah globalisasi telah begitu terkenal, dalam banyak hal awalnya hampir tidak ada perdebatan ilmiah dan kritis terhadapnya, kecuali doktrin. Kalimat yang paling akrab di telinga kita sebagaimana sering dipidatokan para politisi ‘’pro globalisasi’’: ‘’mau tidak mau, suka tidak suka, kita tidak bisa mengindar dari arus globalisasi ... Masalahnya, bagaimana kita menyiapkan diri untuk menghadapinya, agar bisa memetik manfaat dari arus besar itu.’’
Tanpa membahas secara kritis, gambaran ekonomi global semacam itu demikian kuat, sehingga memukau para pengajar, bahkan para analisi, dan membius pemikiran sosial-politik kita. Namun menanggapi pemahaman yang banyak diterima itu, dua orang profesor Paul Hirst dan Grahame Thompson dalam Globalization in Question/kwestjen (2001:3) justru mempertanyakan: benarkah demikian? Kedua tokoh itu meragukan apakah betul telah terjadi proses pembentukan ekonomi global itu. Dengan menunjukkan data-data yang sangat akurat, Hirst dan Thompson mengatakan bahwa ‘’konsep globalisasi seperti yang telah dikemukakan oleh para penganut ekstrem teori globalisasi tidak lain dan tidak bukan adalah mitos belaka’’.
Lebih jauh, argumen yang dikemukakan oleh Hirst dan Thompson (2001:3) adalah: (1) tatanan ekonomi yang sangat mendunia sekarang ini bukannya tanpa preseden: itu tak lain hanyalah bagian dari gelombang turun naik (konjungtur/ku:ki) pertumbuhan ekonomi, atau keadaan ekonomi internasional yang mulai ada sejak ekonomi yang berlandaskan pada teknologi industri menyebar ke seluruh dunia sejak 1960-an. Dalam beberapa hal, ekonomi internasional sekarang ini justru lebih tidak terbuka dibandingkan dengan ekonomi dunia pada tahun 1870 hingga tahun 1914; (2) perusahaan internasional (TNC, transnational company/kampeni) yang murni jarang ditemukan. Perusahaan transnasional pada umumnya berbasis negara nasional dan kegiatan perdagangannya di berbagai belahan dunia bertumpu pada kekuatan produksi dan pemasaran di lokasi nasional, dan tidak ada kecenderungan ke arah perkembangan menjadi perusahaan internasional murni; (3) mobilitas pasar modal tidak mengakibatkan berpindahnya penanaman modal dan kesempatan kerja secara besar-besaran dari negara maju ke negara-negara berkembang. Sebaliknya penanaman modal asing (Foreign/fo:ren Direct/dai’rekt Investment/in’vestment = FDI) justru banyak terpusat di negara-negara industri maju, sedangkan Dunia Ketiga – Kecuali segelintir negara industri baru – tetap menempati posisi di pinggiran, baik dari sisi investasi maupun perdagangan; (4) seperti diakui para pendukung esktrem teori globalisasi, ekonomi dunia jauh dari bersifat ekonomi ‘’global’’. Sebaliknya, perdagangan, investasi, dan arus dana dewasa ini terpusat di wilayah Tritunggal – Eropa, Jepang, dan Amerika Utara – dan pemusatan ini tampaknya akan terus berlanjut; (5) kekuatan ekonomi Tritunggal (G-3) ini, dengan demikian, memiliki kemampuan – apalagi jika ada koordinasi di antara ketiganya dalam kebijakan ekonomi – untuk mengatur pasar modal dan aspek ekonomi lainnya. Karena itu, tidak benar bila dikatakan pasar dunia tidak bisa adiatur dan dikendalikan, meski pada saat ini ruang lingkup dan tujuan yang ingin dicapai dengan mengatur ekonomi dunia masih terbatas, karena kepentingan negara-negara besar ini berbeda dan doktrin ekonomi yang dianut oleh tiga elite itu juga berbeda.
Meskipun demikian, bahwa globalisasi bisa dikatakan ‘’mitos’’, realitas hubungan global tampaknya memiliki gerak historis yang bisa dijelaskan. Pada kenyataannya, globalisasi sudah menjadi pembicaraan dalam berbagai literatur akademik dan segera diadopsi di sekolah-sekolah dan universitas kita. Dalam penelitian James Petras (2002:56), bahwa: Kebangkitan “Ideologi Globalisme’’ pada awalnya ditemukan dalam jurnal-jurnal bisnis di akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an. Kemudian istilah globalisasi diambil alih oleh dunia akademik (ekonomi, sosiologi, kebudayaan, dan politik internasional) dan menjadi sebuah kerangka kerja yang diterima luas ketika berbicara tentang perluasan pasar modal internasional tanpa terlalu membahas asal-usulnya, hubungannya dengan kekuasaan dan hasil-hasilnya yang eksploitatif.
Kaitannya dengan posisi Dunia Ketiga, seperti Indonesia, juga diyakini bahwa negara-negara mana pun tidak akan ‘’selamat’’ bila menolak globalisasi kapitalis. Sebagaimana dikatakan Felix Wilfred (1996:13-14) bahwa: ‘’Tidak akan mengalami keselamatan (kemakmuran, kemajuan) bila berada di luar globalisasi, di luar kapitalisme, dan ekonomi pasar. Dogma ekonomi yang baru diproklamasikan ini mendapat gemanya di antara kelompok kelas atas dan kelas memengah masyarakat negara-negara Dunia Ketiga ... Jika kita tidak mau bergabung dengan proses globalisasi ini, kita akan tertinggal (atau ditinggal) dalam suatu lomba kebodohan.’’
Pada kenyataannya, globalisasi memang lebih diterima sebagai dogma dan ideologi daripada suatu realitas yang dijelaskan secara objektif. Sehingga globalisasi seakan-akan hanyalah ideologi atau dalam bahasa Marx ‘’kesadaran semu’’ yang menutupi hakikat sebenarnya. Penampilan ideologi globalisasi sangat ‘’cantik dan menarik’, tetapi ternyata menyembunyikan kejahatan yang hanya dapat dikenal oleh mereka yang menjadi korbannya.’’ Memang, pada realitasnya, globalisasi ‘’mencabut orang dan menjanjikan kemakmuran ... orang tersebut sebenarnya dihisap habis-habisan, kemudian dibiarkan mati kekeringan.’’ Karena ‘’ekonomi kapitalis liberal yang merupakan pusat dari proses globalisasi.’’
William Robinson (1996) menunjukkan bahwa globalisasi terdiri dari dua proses. Pertama, kulminasi dari proses yang dimulai beberapa abad yang lalu, ternyata di dalamnya terdapat hubungan produksi kapitalis meruntuhkan dan menggantikan seluruh hubungan prakapitalis hampir di seluruh dunia. Kedua, transisi lebih dari beberapa dekade hubungan bangsa-bangsa melalui pertukaran komoditas dan aliran modal dalam pasar dunia yang terintegrasi, ternyata di dalamnya terdapat model produksi yang berbeda berkoeksistensi dalam formasi-formasi sosial ekonomi nasional dan regional yang luas bisa lepas dari keterikatan eksternalnya, yaitu globalisasi proses produksi itu sendiri.
Pembagian kerja ’’kolonial’’ telah mentransformasikan dengan munculnya MNC (multinational corporations) sebagai agen utama aktivitas ekonomi internasional dan gelombang yang terjadi dalam revolusi ilmu pengetahuan dan teknologi (scientific/saian’tifik and technological/tekne’lodjikal revolution=STR) STR pertama dimulai setelah Perang Dunia II dan terfokus pada teknologi intensif sebagai modal (energi nuklir, teknik otomatik baru, bahan-bahan sintetik, komputer dan elektronik, dan lain-lain); STR Kedua dimulai tahun 1960-an dan tercakup di dalamnya generasi komputerisasi kedua, elektronika dan teknologi sintetik, dan teknologi komunikasi yang baru. Pertama membentuk pergeseran dari produksi dengan menekankan tenaga kerja menuju produksi yang menekankan modal sebagai alat akumulasi dalam skala global. Kedua dari intensifikasi modal ke teknologi dan ilmu pengetahuan dan penelitian untuk mengembangkan teknologi yang canggih (komputerisasi, elektronika, telekomunikasi, teknologi robotik, sibernetik, ilmu luar angkasa, dan lain-lain.
Dominasi globalisasi sebenarnya merupakan model imperailisme baru, bukan hanya menebarkan ideologi yang menumpulkan daya kritis masyarakat dan anggota komunitas atau lembaga pendidikan seperti sekolah dan universitas. Penggunaan istilah imperialisme ini untuk memahami dan menjelaskan globalisasi berdasarkan akta globalisasi dalam potensi empirisnya dibandingkan potensi normatifnya. Argumen ini juga didukung oleh fakta bahwa globalisasi yang terjadi dewasa ini dipandang sebagai proyek kelas, bukan sebagai suatu yang niscaya. Dalam hal ini, globalisasi dipandang tidak sebagai istilah khusus yang bermanaat untuk mendeskripsikan dinamika proyek ini, tetapi lebih sebagai ’’alat ideologis yang lebih digunakan untuk deskripsi daripada preskripsi yang akurat’’. Sehingga globalisasi dapat diganti dengan sebuah istilah yang menggunakan nilai deskripsi dan kekuatan penjelas yang lebih adekuat, yakni ’’imperialisme.’’
Dengan menggunakan istilah imperialisme, jaringan lembaga-lembaga yang menentukan struktur sistem perekonomian global yang baru dilihat bukan dalam pengertian struktural, melainkan dalam pengertian kesengajaan dan ketergantungan yang dikendalikan oleh oang-orang merepresentasikan dan berusaha mendahulukan kepentingan kelas kapitalis internasional yang baru. Kelas ini pada kenyataannya dibentuk berdasarkan lembaga-lembaga yang meliputi sekitar 37.000 perusahaan transnasional (TNC), unit-unit kerja kapitalisme global, penyalur –penyalur modal dan teknologi serta agen-agen besar tatanan imperial baru. Perusahaan-perusahaan transnasional tersebut bukan hanya menjadi penyangga organisatoris tatanan imperial ini, termasuk Bank Dunia, IMF, dan Lembaga-Lembaga keuangan internasional dan lain (IFI) yang mengklaim diri sebagai ’’komunitas keuangan internasional’’, atau apa yang disebut Barnet dan John Cavenagh (2002) sebagai ’’jaringan keuangan global’’. Tatanan dunia baru ini juga disangga oleh banyak sekali forum prencanaan dan kebijakan strategis seperti G-7, Komisi Trilateral (TC) dan World/we:ld Economic/i:ke’nomik Forum (WEF); serta aparatur pemerintahan di negara-negara yang menjadi pusat sistem yang telah direstrukturisasi sedemikian rupa sehingga dapat melayani dan merespon kepentingan-kepentingan modal global. Seluruh lembaga tersebut merupakan sebuah bagian integral dari imperialisme baru, yaitu sistem ’’pemerintah global’’ baru.
Ketika korporasi global mampu menjangkau keseluruh penjuru dunia, mereka tidak hanya membawa produk-produk dan merek-merek yang sudah mapan, tetapi juga media-media dan metode-metode pemasaran yang canggih untuk menjajah setiap kultur yang mereka jumpai. The Economist melaporkan, bahwa pada tahun 1989 saja, korporasi global menghabiskan belanja iklan total lebih dari $240 miliar. Biaya lain sebesar $380 miliar dihabiskan untuk kemasan, desain, dan promosi di tempat penjual (point-of-sale/seil-promotions) lainnya. Secara bersama, pengeluaran ini berjumlah $120 per kepala untuk seluruh dunia. Meskipun sebagian besar pengeluaran korporat ini ditujukan untuk menciptakan permintaan akan produk tertentu, ia juga membantu menciptakan kultur konsumen global yang bersifat umum. Tujuannya, untuk menciptakan kesan di benak masyarakat bahwa kepentingan akumulasi kapital – khususnya kepentingan korporasi besar – adalah sama dengan kepentingan masyarakat luas. Secara keseluruhan, korporasi menghabiskan dana per kapita untuk menciptakan konsumen yang bersahabat lebih dari separo dana per kapita yang digunakan dunia untuk pendidikan masyarakat (Dana dunia untuk pendidikan masyarakat adalah $207 per kapita. Untuk negara-negara selatan angka ini adalah $33). Pertumbuhan belanja periklanan jauh melebihi kenaikan belanja pendidikan.
Menghadapi globalisasi dengan imbasnya dalam membentuk struktur ide masyarakat, pendidikan harus mampu menjawab persoalan-persoalan tersebut, terutama menekankan pada metode belajar yan mendekatkan peserta didik pada ’’dunia secara utuh’’, keterkaitan antara satu kondisi dengan kondisi lain yang saling mempengaruhi antara satu bangsa dengan bangsa lain, antara satu komunitas dengan komunitas lain; globalnya kehidupan harus disambut dengan globalnya pemikiran, luasnya jangkauan wawasan dan pengetahuan, serta penguasaan teknologi untuk menyambut masa depan kemajuan di bidang teknis yang pada kenyataannya berkembang sangat cepat.
Menurut Merryfield (1997:232) dalam buku Preparing/pri:pering Teacher/ti:tej to Teach Global/gloubel Perspectives mengatakan: ’’ada tiga syarat yang harus dimiliki oleh guru dalam mengembangkan pendidikan perspektif global: kemampuan konseptual, pengalaman lintas budaya dan keterampilan pedagogis.’’ Pertama, kemampuan konseptual berkenaan dengan peningkatan pengetahuan guru dalam konteks isu-isu global. Guru harus memiliki wawasan tentang isu, dinamika, sejarah, dan nilai-nilai global agar mereka memiliki keterampilan mengapresiasikan persamaan dan perbedaan budaya dalam masyarakat dunia. Penguasaan konseptual dalam tema perspektif global diyakini dapat menjadi pemicu (trigger/trige) yang cukup potensial bagi guru dalam membangun suasana belajar yang dinamis agar siswa mampu merespons isu-isu lokal dalam kaitannya dengan masalah global. Guru harus dapat mengaitkan isu-isu apa pun, baik lokal maupun nasional, dalam hubungannya dengan kejadian global. Dalam pelajaran ekonomi, misalnya, kondisi ekonomi daerah dan nasional dianalisis dari perspektif global, hubungan ekonomi antarnegara, dan juga percaturan modal yang mengalir antara satu negara dengan negara lain. Masalah politik juga dapat dikaitkan dalam hubungannya dengan kepentingan global dalam pelajaran kewarganegaraan. Sementara masalah multikulturalitas dan multinasionalitas bisa menjadi topik yang menarik dalam pelajaran bahasa Inggris.
Kedua, pengalaman lintas budaya (interculturalism). Syarat ini masih belum banyak dimiliki oleh para guru kita, terutama disebabkan oleh profesi guru yang berlatar belakang studinya hanya di daerah atau nasional. Mayoritas guru kita adalah lulusan di bawah S1 dan rata-rata sekolahnya tidak berada jauh dari tempat asalnya. Berbeda dengan lulusan S1 atau perguruan tinggi yang biasanya dihuni oleh mahasiswa dari berbagai macam etnik, ras, agama, dan adat-istiadat. Mereka telah belajar berinteraksi secara inter-kultural dan demikian lebih dapat mengerti perbedaan latar belakang masing-masing orang. Di samping itu, juga sangat sedikit guru yang pernah belajar ke luar negeri yang secara langsung pernah hidup dalam keadaan budaya yang berbeda dengan dirinya. Kesadaran multi-budaya akan mudah terbentuk apabila orang secara langsung mengalaminya dalam kehidupan sesungguhnya. Ketidaktahuan hanya akan menimbulkan adaptasi terhadap hasil interaksi dengan orang dari etnis atau etinitas budaya lain yang ditemuinya. Dalam proses globalisasi terjadi transnasionalisasi sehingga apa yang bersifat lokal dapat menembus batas-batas teritorial dan mengalami pemaknaan yang berbeda bagi umat manusia. Jadi, tidak berarti bahwa trans-nasionalisasi atau globalisasi ini tidak terkait dengan ’’tempat’’. Trans-nasionalisasi atau globalisasi memungkinkan manusia untuk membuat tindakan simultan dalam pelbagai tempat yang berbeda sekaligus. ’’Global’’ di sini berarti ’’trans-lokal.’’ Globalisasi bukanlah suatu yang mengembangkan apa saja dengan dalih keuniversalan, tetapi bukan berarti tidak terikat pada tempat. Tempat atau kebertempatan bukan hilang, diberi makna yang baru. Inilah yang kemudian muncul istilah dari Roland Robertson (1996) yakni glokalisasi. Apa yang lokal bukannya tidak penting, tapi justru dapat arti yang baru dalam hubungan masyarakatnya.
Ketiga, keterampilan pedagogis dalam perspektif global menurut Roland Robertson (1996) adalah ’’the practice of teaching and learning globaliy oriented content in ways/weisaid that support/se’po:t diversity/dai’ve:siti and social/soujel justice/jastis in interconnected world.’/we:ld’ Keterampilan pedagogis tentunya menyangkut metode mengajar yang tepat oleh guru agar peserta didik dapat memahami suatu masalah dalam konteks yang luas dan komprehensif (global). Selain menguasai materi dan konsepsi permasalahan, guru harus memiliki kemampuan agar apa yang disampaikan mudah diterima, serta muncul motivasi bagi peserta didik untuk mempelajari dan mendalami tema-tema yang ada di luar kelas.
Semuanya akan tergantung pada kebijakan pendidikan baik yang menyangkut metode maupun materi yang disampaikan pada peserta didik. Pemaknaan secara global terhadap masalah-masalah lokal ini merupakan kata kunci dalam tujuan tersebut. Untuk menjelaskan gejala-gejala alam dan hubungan sesama (baik dalam ilmu alam, eksak, maupun ilmu sosial dan humaniora), para pendidik sebaiknya membawanya pada pemaknaan secara global, terutama kalau dalam memberikan penjelasan dan berdialog dengan peserta didik sedang mengangkat tema-tema demokrasi dan HAM. Penekanan ini akan melahirkan penjiwaan baru yang membawa generasi kita untuk berpikir secara global, dengan demikian dapat memaknai hubungan antarsesama manusia secara holistik dan tidak parsial.
Metode lainnya adalah melalui buku-buku pelajaran dan bacaan-bacaan yang tidak saja memacu semangat ilmu penetahuan dan teknologi modern, global, dan menunjukkan tingkat penemuan baru, tetapi juga harus memuat materi-materi dan contoh-contoh yang meluaskan imajinasi global peserta didik. Misalnya, kasus-kasus atau peristiwa tentang (masyarakat, kebiasaan, teknologi, bahkan permaalahan) negara lain sering dijadikan contoh, tetapi hal ini juga mesti dibandingkan dengan kondisi masyarakat kita sendiri. Dengan menceritakan negara atau benua lain, secara simultan otak peserta didik dibawa untuk membayangkan tempat itu, lalu dibawa kembali ke negara sendiri, untuk dibandingkan. Hal ini akan memacu semangat untuk maju dan berpikir, karena pada saat otak manusia didorong untuk berpikir akan suatu tempat yang jauh dari tempat ia berada otaknya sedang memperluas perspeksi.



Penutup
Peran guru sangat diharapkan karena guru adalah pemandu dan teman dialog bagi peserta didik, bukan hanya orang yang bertugas mendiktenya. Globalisasi sedang menunggu, biarkanlah anak-anak didik mengetahui kebebasan menikmati dunia dengan keanekaragaman. Mari kita dorong mereka untuk memacu tenaga produktif dan kreativitas dalam menghadapi proses pengglobalan (bukan penggombalan).
Demikianlah sekelumit pemikiran yang dapat saya sampaikan, mudah-mudahan ada manfaatnya bagi penyelesaian persoalan bangsa dan negara tercinta. Paling tidak, menjadi input bagi persoalan pendidikan kita dalam menghadapi tantangan global, yang akhirnya kualitas pendidikan kita akan setara dengan negara-negara di berbagai belahan dunia ini.
Wallohua’lam bissowab.

(Penulis, Guru Besar Kopertis Wilayah IV dan Pembantu Ketua Bidang Akademik STKIP Pasundan)








DAFTAR PUSTAKA



Buchori, Mochtar. 1995. Transformasi Pendidikan. Jakarta: Midas Surya Grafindo.

Delors, et.al., 1996. Learning: the Treasure Within: Report to UNESCO of the International Commission on Education for the Twenty-First Century. Paris: UNESCO dalam http://www.ibe.unesco.org/learning/theconcept.htm.

Giddens, Anthony. 2002. Runaway World: Bagaimana Globalisasi Mrombak Kehidupan Kita. Jakarta: Gramedia.

Ohmae. Kenichi. 1996. Berakhirnya Negara Bangsa. Dalam Jurnal Analisis CSIS tahun XXV No. 2.

Paul Hirst & Grahame Thompson. 2001. Globalisasi adalah Mitos. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Robinson, William. 1996. Promoting polyarchy: Globalization, US Intervention and Hegemony. New York: Cambridge University Press.

Sedarmayanti. 2007. Manajemen Sumber Daya Manusia: Reformasi Birokrasi dan Manajemen Pegawai Negeri Sipil. Bandung: Refika Aditama.

Soyomukti, Nurani. 2008. Pendidikan Perspektif Globalisasi. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.

Suyanto. 2008. Inspirasi Bagi Pendidikan. Tersedia : http://www.penapendidikan.com/inspirasi-bagi-pe...[16 Juli 2008].

Vembriarto, ST. 1990. Sosiologi Pendidikan. Jogjakarta: Andi Offset.

Wen, Sayling. 2003. Future of Education: Masa Depan Pendidikan. Batam Centre: Lucky Publishers

Selengkapnya...

PERAN PROFESIONALISME GURU DALAM MENINGKATKAN PENDIDIKAN BERBASIS MUTU Oleh: Prof. Dr. H. Endang Komara, M.Si (Asesor Sertifikasi Dosen 2008 dan Dosen



ABSTRAK
Profesionalisme guru memberikan kemungkinan perbaikan dan pengembangan diri yang memungkinkan guru dapat memberikan pelayanan sebaik mungkin dan memaksimalkan kompetensinya yang ditunjukkan oleh lima sikap, yakni: (1) keinginan untuk selalu menampilkan perilaku yang mendekati standar ideal; (2) meningkatkan dan memelihara citra profesi; (3) keinginan untuk senantiasa mengejar kesempatan pengembangan profesional yang dapat meningkatkan dan memperbaiki kualitas pengetahuan dan keterampilan; (4) mengejar kualitas dan cita-cita dalam profesi; dan (5) memiliki kebanggaan terhadap profesinya. Salah satu komponen penting program mutu dalam pendidikan adalah mengembangkan sistem pengukuran yang memungkinkan para profesional pendidikan mendokumentasikan dan menunjukkan nilai tambah pendidikan bagi siswa dan komunitasnya.
Kata Kunci: Profesionalisme guru, citra profesi, kualitas dan nilai tambah pendidikan.

1. Pendahuluan
Guru profesional adalah guru yang mengenal tentang dirinya. Yakni sebagai pribadi yang dipanggil untuk mendampingi peserta didik dalam belajar. Guru dituntut mencari tahu terus-menerus bagaimana seharusnya peserta didik itu belajar. Maka apabila ada kegagalan peserta didik, guru terpanggil untuk menemukan penyebabnya dalam mencari jalan keluar bersama peserta didik bukan mendiamkannya atau malahan menyalahkannya. Sikap yang harus senantiasa dipupuk adalah kesediaan untuk mengenal diri dan kehendak untuk memurnikan keguruannya. Mau belajar dengan meluangkan waktu untuk menjadi guru. Seorang guru yang tidak bersedia belajar, tak mungkin kerasan dan bangga menjadi guru. Kerasan dan kebanggaan atas keguruannya adalah langkah untuk menjadi guru yang profesional.
Menurut Soedijarto (Kunandar, 2007:49) bahwa guru sebagai jabatan profesional memerlukan pendidikan lanjutan dan latihan khusus (advanced education and special training), maka guru sebagai jabatan profesional, seperti dokter dan lawyer, memerlukan pendidikan pasca sarjana. Namun pascasarjana bagi jabatan profesional bukanlah program akademik, setiap program profesional yang mengutamakan praktik. Seperti halnya dokter setelah menjadi sarjana kedokteran, calon dokter belajar praktik menjadi dokter selama dua tahun. Di Amerika Serikat, calon guru, baik SD, SMP maupun SMA kesemuanya B.A. dan program pasca B.A. (graduate programe), tetapi bukan untuk mendapatkan Master, melainkan untuk mendapatkan “Credential’’ melalui penguasaan ilmu-ilmu keguruab dan praktik keguruan selama satu tahun lebih.
Dalam upaya memajukan jabatan guru sebagai jabatan profesional, kita belum sepenuhnya menganut pendidikan profesional seperti yang dianut oleh jabatan profesional lainnya yang lebih tua seperti dokter. Namun dengan adanya Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan yang khusus menangani urusan mutu pendidikan dan keguruan, peluang untuk menuju ke arah profesionalitas jabatan guru dan pengelolaan pendidikan menjadi semakin terbuka.
Pemerintah melalui presiden sudah mencanangkan guru sebagai profesi pada tanggal 2 Desember 2004. Guru sebagai profesi dikembangkan melalui: (1) sistem pendidikan; (2) sistem penjaminan mutu; (3) sistem manajemen; (4) sistem remunerasi; dan (5) sistem pendukung profesi guru. Dengan mengembangkan guru sebagai profesi diharapkan mampu: (1) membentuk, membangun, dan mengelola guru yang memiliki harkat dan martabat yang tinggi di tengah masyarakat; (2) meningkatkan kehidupan guru yang sejahtera, dan (3) meningaktkan mutu pembelajaran yang mampu mendukung terwujudnya lulusan yang kompeten dan terstandar dalam kerangka pencapaian visi, misi dan tujuan pendidikan nasional pada masa mendatang. Selain itu juga diharapkan akan mendorong terwujudnya guru yang cerdas, berbudaya, bermatabat, sejahtera, canggih, elok, unggul, dan profesional. Guru masa depan diharapkan semakin konsisten dalam mengedepankan nilai-nilai budaya mutu, keterbukaan, demokratis, dan menjunjung akuntabilitas dalam melaksanakan tugas dan fungsi sehari-hari.
Menurut Sidi (2003) bahwa : ‘’seorang guru yang profesional dituntut dengan sejumlah persyaratan minimal antara lain: memiliki kualifikasi pendidikan profesi yang memadai, memiliki kompetensi keilmuan sesuai dengan bidang yang ditekuninya, memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik dengan anak didiknya, mempunyai jiwa kreatif dan produktif, mempunyai etos kerja dan komitmen yang tinggi terhadap profesinya, dan selalu melakukan pengembangan diri secara terus-menerus (continous improvement) melalui organisasi profesi, internet, buku, seminar dan semacamnya”. Dengan persyaratan semacam ini, maka tugas seorang guru bukan lagi knowledge based, seperti sekarang ini, tetapi lebih bersifat competency based, yang menekankan pada penguasaan secara optimal konsep keilmuan dan perekayasaan secara optimal konsep keilmuan dan perekayasaan yang berdasarkan nilai-nilai etika dan moral. Konsekuensinya, seorang guru tidak lagi menggunakan komunikasi satu arah yang selama ini dilakukan, melainkan menciptakan suasana kelas yang kondusif sehingga terjadi komunikasi dua arah secara demokratis antara guru dengan siswa. Kondisi yang demikian diharapkan mampu menggali potensi dan kreativitas peserta didik
Dengan profesionalisme guru, maka guru masa depan tidak tampila lagi sebagai pengajar (teacher), seperti fungsinya yang menonjol selama ini, tetapi beralih sebagai pelatih (coach), pembimbing (conselor), dan manajer belajar (learning manager). Sebagai pelatih, seorang guru akan berperan seperti pelatih olahraga. Ia mendorong siswanya untuk menguasai alat belajar, memotivasi siswa untuk bekerja keras dan mencapai prestasi setinggi-tingginya, dan membantu siswa menghargai nilai belajar dan pengetahuan. Sebagai pembimbing atau konselor, guru akan berperan sebagai sahabat siswa, menjadi teladan dalam pribadi yang mengundang rasa hormat dan keakraban dari siswa. Sebagai manajer belajar, guru akan membimbing siswanya belajar, mengambil prakarsa, dan mengeluarkan ide-ide baik yang dimilikinya. Dengan ketiga peran guru ini, maka diharapkan para siswa mampu mengembangkan potensi diri masing-masing, mengembangkan kreativitas, dan mendorong adanya penemuan keilmuan dan teknologi yang inovatif sehingga para siswa mampu bersaing dalam masyarakat global.
Sementara itu, menurut Ngalim Purwanto (2002) bahwa sikap dan sifat-sifat guru yang baik adalah bersikap adil, percaya dan suka kepada muridnya, sabar dan rela berkorban, memiliki wibawa di hadapan peserta didik, penggembira, bersikap baik terhadap guru-guru lainnya, bersikap baik terhadap masyarakat, benar-benar menguasai mata pelajarannya, suka dengan mata pelajaran yang diberikannya, dan berpengetahuan luas.
Dalam konteks pendidikan, pengertian mutu mengacu pada masukan, proses, luaran dan dampaknya. Mutu masukan dapat dilihat dari beberapa sisi. Pertama, kondisi baik atau tidaknya masukan sumber daya manusia, seperti kepala sekolah, guru, laboran, staf tata usaha dan siswa. Kedua, memenuhi atau tidaknya kriteria masukan material berupa alat peraga, buku-buku, kurikulum, prasarana, sarana sekolah dan lain-lain. Ketiga, memenuhi atau tidaknya kriteria masukan yang berupa perangkat lunak, seperti peraturan, struktur organisasi, deskripsi kerja, dan struktur organisasi. Keempat, mutu masukan yang berisifat harapan dan kebutuhan, seperti visi, motivasi, ketekunan dan cita-cita.
Mutu proses pembelajaran mengandung makna bahwa kemampuan sumber daya sekolah mentransformasikan mutijenis masukan dan situasi untuk mencapai derajat nilai tambah tertentu bagi peserta didik. Hal-hal yang termasuk dalam kerangka mutu proses pendidikan ialah derajat kesehatan, keamanan, disiplin, keakraban, saling menghormati, kepuasan dan lain-lain dari subjek selama memberika dan menerima jasa layanan. Menurut Umaedi (1999), manajemen sekolah dan manajemen kelas berfungsi menyinkronkan berbagai masukan tersebut atau menyinergikan semua komponen dalam interaksi belajar dan mengajar. Semua komponen ini bersinergi mendukung proses pembelajaran.
Hasil pendidikan dipandang bermutu jika mampu melahirkan keunggulan akademik dan ekstrakurikuler pada peserta didik yang dinyatakan lulus untuk satu jenjang pendidikan atau menyelesaikan program pembelajaran tertentu. Keunggulan akademik dinyatakan dengan nilai yang dicapai oleh peserta didik. Keunggulan ekstrakurikuler dinyatakan dengan aneka jenis keterampilan yang diperoleh siswa selama mengikuti program ekstrakurikuler. Di luar kerangka itu, mutu luaran juga dapat dilihat dari nilai-nilai hidup yang dianut, moralitas, dorongan untuk maju, dan lain-lain yang diperoleh anak didik selama menjalani pendidikan.
Mutu sebuah sekolah juga dapat dilihat dari tertib administrasinya. Salah satu bentuk tertib administrasi adalah adanya mekanisme kerja yang efektif dan efisien, baik secara vertikal maupun horizontal. Mereka bekerja karena memiliki rasa tanggung jawab akan tugas pokok dan fungsinya. Sikap mental (mind set) tenaga kependidikan di sekolah menjadi prasyarat bagi upaya meningkatkan mutu. Merujuk pada pendapat Edward Sallis (Prof. Dr. Sudarwan Danim, 2007:54)), sekolah yang bermutu bercirikan sebagai berikut: (1) Sekolah berfokus pada pelanggan, baik pelanggan internal maupun eksternal, (2) berfokus pada upaya pencegah pada sumber daya manusianya, (3) memiliki investasi pada sumber daya manusia, (4) memiliki strategi untuk mencapai kualitas, baik di tingkat pimpinan, tenaga akademik maupun tenaga administrasi, (5) mengelola atau memperlakukan keluhan sebagai umpan balik untuk mencapai kualitas dan memposisikan kesalahan sebagai instrumen untuk berbuat benar pada peristiwa atau kejadian berikutnya, (6) memiliki kebijakan dalam perencanaan untuk mencapai kualitas, baik perencanaan jangka pendek, menengah maupun jangka panjang, (7) mengupayakan proses perbaikan dengan melibatkan semua orang sesuai dengan tugas pokok, fungsi, dan tanggung jawabnya, (8) mendorong orang yang dipandang memiliki kreativitas, mampu menciptakan kualitas, dan merangsang yang lainnya agar dapat bekerja secara berkualitas, (9) memperjelas peran dan tanggung jawab setiap orang, termasuk kejelasan arah kerja secara vertikal dan horizontal, (10) memiliki strategi dan kriteria evaluasi yang jelas, (11) memandang atau menempatkan kualitas yang telah dicapai sebagai jalan untuk memperbaiki kualitas layanan lebih lanjut, (12) memandang kualitas sebagai bagian integral dari budaya kerja dan, (13) sekolah menempatkan peningkatan kualitas secara terus-menerus sebagai suatu keharusan.
Masalahnya, bagaimana sekolah harus distrukturkan agar mampu menciptakan mutu layanan yang dikehendaki. Aspek-aspek daya dukung dan masalah kontekstual sangat mungkin berpengaruh dalam penataan struktur organisasi sekolah yang memenuhi kriteria untuk mencapai mutu. Secara umum, struktur organisasi dan mekanisme kerja sekolah yang dikehendaki menurut konsep manajemen mutu terpadu (MMT), antara lain: (1) struktur organisasi sekolah mampu melancarkan proses pengelolaan mutu secara menyeluruh dan kondusif bagi perbaikan kualitas, (2) struktur organisasi sekolah mampu mengutamakan kerja sama yang solid secara tim kerja, (3) struktur organisasi sekolah mampu mengurangi fungsi kontrol yang tidak perlu, (4) struktur organisasi sekolah mampu mereduksi pekerjaan yang dilakukan secara repetitif atau tumpang-tindih akibat kesalahan struktur kerja, (5) struktur organisasi sekolah mampu membentuk tim yang terstruktur dengan sistem manajemen yang sederhana tetapi efektif, (6) struktur organisasi sekolah mampu mengupayakan agar semua anggota tim memahami visi lembaga, (7) struktur organisasi sekolah mampu mengupayakan agar semua anggota tim mampu memahami potensi lembaga, baik yang riil ada maupun yang mungkin diakses, (8) struktur organisasi sekolah mampu mengupayakan agar keseluruhan proses kerja berada di bawah suatu komando yang hubungan kerjanya sederhana dan, (9) struktur organisasi sekolah mampu melakukan penilaian untuk menentukan keberhasilan kerja sebuah sekolah.
Kepemimpinan mutu menjadi prasyarat untuk mencapai maksud tersebut yaitu kemampuan kepala sekolah untuk bekerja atau melalui staf administratif dan tenaga akademiknya. Seorang kepala sekolah seyogyanya memahami betul mengenai visi lembaganya. Mereka harus mampu membudayakan kerja secara bermutu dan dapat memberdayakan seluruh potensi yang ada untuk mendukung mutu yang dikehendaki. Ada lima kemampuan dasar yang harus dimiliki oleh kepala sekolah. Pertama, memahami visi organisasi dan memiliki visi kerja yang jelas. Kedua, mampu dan mau bekerja keras. Maksudnya, kepala sekolah tidak cukup memiliki daya dorong kerja yang tinggi, tetapi juga harus memiliki kemampuan fisik yang kuat. Ketiga, tekun dan tabah dalam bekerja dengan bawahan, terutama tenaga administratif dan tenaga akademiknya. Keempat, memberikan layanan secara optimal dengan tetap tampil secara rendah hati. Kelima, kepala sekolah memiliki disiplin kerja yang kuat.



2. Pembahasan
2.1 Peran Profesionalisme Guru
Guru dalam bahasa Jawa adalah seorang yang harus digugu dan harus ditiru oleh semua muridnya. Harus digugu artinya segala sesuatu yang disampaikan senantiasa dipercaya dan diyakini sebagai kebenaran oleh murid. Segala ilmu pengetahuan yang datangnya dari sang guru dijadikan sebagai sebuah kebenaran yang tidak perlu dibuktikan atau diteliti lagi. Seorang guru juga harus ditiru, artinya seorang guru menjadi suri teladan bagi semua muridnya. Mulai dari cara berpikir, cara bicara, hingga cara berperilaku sehari-hari. Sebagai seseorang yang harus digugu dan ditiru seorang dengan sendirinya memiliki peran yang luar biasa dominasinya bagi murid.
Dalam sebuah proses pendidikan guru merupakan salah satu komponen yang sangat penting, selain komponen lainnya seperti tujuan, kurikulum, metode, sarana, dan prasarana, lingkungan dan evaluasi. Dianggap sebagai komponen yang paling penting karena yang mampu memahami, mendalami, melaksanakan dan akhirnya mencapai tujuan pendidikan adalah guru. Guru juga yang berperan penting dalam kaitannya dengan kurikulum, karena gurulah yang langsung berhubungan dengan murid. Demikian guru berperan penting dalam hal sarana, lingkungan dan evaluasi karena seorang gurulah yang mampu memanfaatkannya sebagai media pendidikan secara langsung bagi muridnya.
Dari sini diskursus tentang guru menjadi sangat relevan, apalagi bila dikaitkan dengan kondisi bangsa Indonesia yang lagi mengalami krisis multidimensional. Guru dianggap oeh sebagian pengamat pendidikan sebagai yang bertanggung jawab besar terhadap kegagalan pendidikan nasional yang ternyata hanya mampu menghasilkan alumni yang korup, suka bertengkar dan mata duitan.
Dalam sejarahnya, guru senantiasa memiliki hubungan yang khas dengan muridnya. Menurut Muhamad Nurdin (2008:18-19) bahwa, tiga bentuk hubungan guru dengan murid, yaitu hubungan instruksional, hubungan emosional dan hubungan spiritual. Ketiga bentuk hubungan antara guru dan murid ini mempunyai implikasi yang berbeda antara satu dengan yang lain. Hubungan tersebut ada yang bersifat abadi, temporal, dan hanya sekejap saja dalam rentang waktunya. Masing-masing bentuk memiliki kelebihan dan kekurangan yang secara inheren yang ada di dalamnya.
Hubungan instruksional adalah hubungan antara guru dan murid yang lebih bersifat teknis. Dalam hubungan yang demikian ini memunculkan beberapa kondisi. Pertama, antara guru dan murid terjadi interaksi yang bersifat mekanis. Guru memberikan beberapa instruksi kepada murid untuk melakukan suatu pekerjaan yang telah disusun secara rapi dan sistematis. Pemberian instruksi tersebut sifatnya monologis di mana guru menjadi lebih dominan. Kedua, antara guru dan murid terjadi interaksi yang bersifat kognitif-intelektual. Artinya, guru menyampaikan pengetahuan dan memberikan instruksi kepada muridnya tentang segala sesuatu yang bernuansa pengetahuan intelektual. Pada tataran ini, murid seperti botol yang masih kosong yang harus diisi oleh sang guru. Sebaliknya, guru bagaikan sebuah bank yang memberikan atau mengucurkan kredit sebanyak-banyaknya kepada murid. Ketiga, karena hubungannya berbentuk instruksional, maka hubungan yang terjadi tidak memiliki ikatan perasaan di antara keduanya. Seolah-olah di antara guru dan murid adalah dua pihak yang berbeda yang berada dialam lain tanpa adanya kemampuan untuk berinteraksi lebih intens dan berjiwa. Karena inilah yang kemudian menghasilkan murid atau alumnus yang tidak berjiwa dan kurang berperasaan meskipun kepada gurunya sendiri. Dan keempat, hubungan instruksional ini tidak mensyaratkan adanya kesamaan pandangan atau ideologi yang dimiliki oleh guru dan siswa. Yang menonjol dalam hubungan bentuk instruksiona ini adalah kesamaan kepentingan yang bersifat ilmiah dan intelektual. Dengan demikian, bisa saja terjadi antara guru dan murid berbeda pendapat bahkan terjadi pertentangan. Karena memang hal itu tidak ditabukan sama sekali.
Hubungan emosional adalah hubungan antara guru dam murid yang dilandasi perasaan. Dalam hubungan yang demikian ini memunculkan beberapa kondisi. Pertama, hubungan yang terjadi tidak hanya bersifat lipstik belaka, melainkan merupakan hubungan yang berjiwa dan sangat membekas di antara keduanya. Dalam waktu yang lama di antara keduanya masih akan terus terjadi kontak batin, meskipun sudah berada di tempat yang sangat jauh. Hubungan yang terjadi benar-benar merasuk sampai di lubuk hati guru maupun murid. Kedua, hubungan emosional kadang-kadang mengalahkan rasio kemanusiaan. Di kala sang guru memberikan suatu pelajaran atau perintah yang sebenarnya secara rasio tidak bisa diterima oleh sang murid akan diterima juga sebagai sebuah kebenaran. Hubungan yang demikian ini memang kadang-kadang menyebabkan sesuatu akibat yang jauh dari harapan dan keinginan sebelumnya. Karenanya, hubungan dengan bentuk emosional ini perlu dilakukan secara hati-hati dan sistematis. Ketiga, hubungan yang terjadi mensyaratkan adanya kesamaan perasaan di antara guru dan murid. Perasaan di sini bisa diartikan sebagai perasaan individual dan perasaan sosial, atau bahkan perasaan komunal. Perasaan yang sama antara satu pihak dengan pihak lain akan membentuk sebuah hubungan yang bukan hanya bersifat artifisial akan tetapi bersifat substantif. Dengan demikian, diharapkan akan terwujud suasana perasaan yang selalu sama dan seirama.
Hubungan spiritual adalah hubungan antara guru dan murid yang didominasi oleh adanya kepentingan spiritual. Hubungan dalam bentuk yang demikian ini memunculkan beberapa kondisi. Pertama, hubungan yang terjadi antara guru dan murid lebih didorong oleh semangat spiritual keagamaan dan ketuhanan. Hubungan antara guru dan murid yang didorong oleh semangat keagamaan dan ketuhanan merupakan hubungan yang sangat kuat. Hubungan dalam bentuk ini kadang-kadang tidak hanya tidak rasional, akan tetapi kadang-kadang berbau nekat. Hubungan yang demikian ini diyakini sampai saat ini masih ada. Bahkan pada masa sebelumnya, hubungan yang demikian ini adalah hubungan yang paling dominan. Kedua, hubungan spiritual antara guru dan murid memunculkan suasana feodalistik di mana guru merupakan seseorang yang tidak boleh dianggap salah baik dalam berbicara, bertindak atau memberi perintah. Ketika terjadi perkataan, perbuatan atau perintah yang jelas-jelas salah baik dalam bingkai agama, tradisi, atau rasio, maka tidak langsung disalahkan. Akan tetapi harus dicari hikmah di balik perkataan, perbuatan atau perintah tersebut. Inilah yang menjadikan hubungan spiritual ini sangat unik yang kadang-kadang sulit dimengerti oleh orang awam. Ketiga, hubungan spiritual ini tidak akan terputus sepanjang zaman. Hubungan antara guru dan murid dengan bentuk hubungan ini tidak mungkin terputus walaupun dalam rentang waktu yang panjang dan jauah jaraknya secara geografis. Bahkan sampai berbilang generasi hubungan yang demikian ini masih sangat kental. Dan keempat, hubungan ini terjadi di antara guru dan murid yang memiliki akar tradisi, agama, ideologi, dan obsesi masa depan yang sama. Artinya primordialisme sangat kuat dalam hubungan bentuk ini. Hubungan yang mendasarkan diri pada pandangan primordialisme yang sangat kuat bukan lagi hubungan pemberian ilmu pengetahuan dari guru kepada murid, akan tetapi sudah mengarah pada indoktrinasi nilai-nilai yang selama ini dipegang oleh guru. Hubungan ini tidak mungkin terputus meskipun nyawa taruhannya.
Hubungan instruksionalisme lebih banyak diadopsi oleh lembaga pendidikan modern yang sebisa mungkin menghilangkan subyektivitas sang guru maupun sang murid. Hubungan instruksional i ni juga diadopsi oleh sebagian besar lembaga pendidikan formal di Indonesia. Hubungan emosional lebih banyak diadopsi oleh lembaga-lembaga pionir dengan beragai ragam budaya dan agamanya. Meskipun hubungan emosional ini tidak menafikan transfer ilmu pengetahuan yang mensyaratkan adanya netralitas sang guru, akan tetapi transfer nilai-nilai budaya primordialisme masih sangat kuat. Di lembaga pendidikan yang menggunakan bentuk hubungan emosional, secara mencolok lebih menekankan pada nilai-nilai budaya dan adiluhung. Meskipun demikian, juga tidak mengabaikan sama sekali transfer pengetahuan. Sedangkan hubungan spiritual banyak diadopsi oleh lembaga keagamaan yang mengedepankan pendekatan transendental daripada realitas keduniaan. Hubunan spiritual banyak dilakukan oleh pesantren yang menekankan arti perjuangan Islam secara sempit, sehingga memunculkan murid atau orang-orang yang rela mempertaruhkan nyawanya untuk memenuhi seruan sang guru.
Dalam kaitannya dengan bentuk hubungan guru dan murid di Indonesia dapat dilihat dari metamorfose dan dialektikanya. Pada masa kerajaan Hindu dan Islam hubungan antara guru dan murid cenderung bersifat spiritual. Hubungan bentuk ini berlangsung sampai masa-masa perjuangan bangsa Indonesia. Memasuki masa kemerdekaan mulai terjadi pergeseran bentuk hubungan yang mengarah pada hubungan emosional. Hubungan ini dapat dilihat dari pemerintahan Orde Lama. Pada masa ini lebih banyak materi ideologis yang diberikan kepada murid, sehingga bentuk hubungan yang menonjol adalah hubungan emosional. Pada awal masa Orde Baru bersamaan dengan masuknya arus modernisasi, bentuk hubungan antara guru dan murid mulai bergeser ke bentuk instruksional. Hubungan ini sebagaimana dikemukakan di atas mensyaratkan adanya netralitas sang guru maupun sang murid dari subyektivitas. Yang menjadi perekat antara guru dan murid adalah murni intelektual dan kognisi bukan yang lain. Dengan demikian, perjalanan bentuk hubungan antara guru dan murid dapat diurutkan dari yang berbentuk spiritual, ke bentuk emosional, dan terakhir bentuk instruksional.
Bentuk hubungan yang proporsional adalah bentuk hubungan antara guru dan murid yang bukan hanya mengedepankan kognisi-intelektual, tidak hanya emosional, dan sekaligus spiritual belaka, tetapi hubungan yang proporsional adalah hubungan yang mengadopsi ketiga interes tersebut. Artinya hubungan antara guru dan murid selain untuk mentransfer pengetahuan dan keterampilan juga untuk membangun hubungan berjiwa dan sekaligus dilandasi oleh kepentingan spiritual. Karena dengan mementingkan atau menonjolkan salah satu interes dari ketiga bentuk di atas, ternyata bangsa Indonesia belum mampu menggapai apa yang menjadi cita-citanya. Dengan kata lain, bentuk hubungan antara guru dan murid yang selama ini ada di Indonesia perlu dirombak dan disesuaikan dengan sifat dasar manusia Indonesia, yaitu bentuk hubungan yang multidimensional.
Guru profesional adalah guru yang mampu menerapkan hubungan yang berbentuk multidimensional. Guru yang demikian adalah guru yang secara internal memenuhi kriteria administratif, akademis, dan kepribadian. Persyaratan guru profesional antara lain: sehat jasmani dan rohani, bertaqwa, berilmu pengetahuan, berlaku adil, berwibawa, ikhlas, mempunyai tujuan, mampu merencanakan dan melaksanakan evaluasi dan, menguasai bidang yang ditekuninya.

2.2 Pendidikan Berbasis Mutu
Dr. Joseph M. Juran (Arcaro, 2006:8) sebagai salah seorang ‘’Bapak Mutu”. Ia berlatar pendidikan teknik dan hukum. Juran menyebut mutu sebagai ‘’tepat untuk pakai’’ dan menegaskan bahwa dasar misi mutu sebuah sekolah adalah ‘’mengembangkan program dan layanan yang memenuhi kebutuhan pengguna seperti siswa dan masyarakat’’. Lebih lanjut Juran mengatakan bahwa ‘’tepat untuk dipakai’’ lebih tepat ditentukan oleh pemakai bukan oleh pemberi. Beberapa pandangan Juran (Arcaro, 2006:9) bahwa, mutu adalah: (1) meraih mutu merupakan proses yang tidak mengenal akhir, (2) perbaikan mutu merupakan proses berseninambungan, bukan program sekali jalan, (3) mutu memerlukan kepemimpinan dari angota dewan sekolah dan adminsitrator, (4) pelatihan massal merupakan persyaratan mutu, dan (5) setiap orang di sekolah mesti mendapatkan pelatihan.
Inti pemikiran Juran bahwa membangun mutu sebagai prinsip dasar bagi pendidikan di sekolah, strategi dan filosofinya sama seperti yang terbukti dan berhasil dijalankan dalam bidang lain. Juran sudah memperkirakan keberhasilan bangsa Jepang dalam sebuah pidatonya untuk Organisasi Kontrol Mutu Eropa tahun 1966. Dia mengatakan: ‘’Bangsa Jepang menonjol di dunia dalam kepemimpinan mutu dan akan menjadi pemimpin dunia dalam dua dekade mendatang karena tak ada pihak lain yang bergerak ke arah mutu dengan kecepatan yang sama dengan bangsa Jepang’’.
Bila diterapkan secara tepat, Manajemen Mutu Terpadu (MMT) merupakan metodologi yang dapat membantu para profesional pendidikan menjawab tantangan lngkungan masa kini. MMT dapat dipergunakan untuk mengurangi rasa takut dan meningkatkan kepercayaan di lingkungan sekolah. MMT dapat digunakan sebagai perangkat untuk membangun aliansi antara pendidikan, bisnis dan pemerintahan. Aliansi pendidikan memastikan bahwa para profesional sekolah atau wilayah memberikan sumber daya yang dibutuhkan untuk mengembangkan program-program pendidikan. MMT dapat memberikan fokus pada pendidikan dan masyarakat. MMT membentuk infrastruktur yang fleksibel yang dapat memberikan respons yang cepat terhadap perubahan tuntutan masyarakat. MMT dapat membantu pendidikan menyesuaikan diri dengan keterbatasan dana dan waktu. MMT memudahkan sekolah mengelola perubahan.
Transformasi menuju sekolah bermutu terpadu diawali dengan mengadopsi dedikasi bersama terhadap mutu oleh dewan sekolah, administrator, staf, siswa, guru dan komunitas. Prosesnya diawali dengan mengembangkan visi dan misi mutu untuk wilayah dan setiap sekolah serta departemen dalam wilayah tersebut. Visi mutu memfokuskan pada pemenuhan kebutuhan kostumer, mendorong keterlibatan total komunitas dalam program, mengembangkan sistem pengukuran nilai tambah pendidikan, menunjang sistem yang diperlukan staf dan siswa untuk mengelola perubahan, serta perbaikan berkelanjutan dengan selalu berupaya keras membuat produk pendidikan menjadi lebih baik.
Pertama, terfokus pada kostumer. Agar sekolah mengembangkan fokus mutu, setiap orang dalam sistem sekolah mesti mengakui bahwa setiap output lembaga pendidikan adalah kostumer. Dalam survai terakhir atas 150 pengawas sekolah untuk mengukur pemahaman mereka atas mutu, rupanya 35% responden disurvai menunjukkan, mereka tak yakin bila sekolah itu memiliki kostumer. Memang masih lebih banyak pihak dalam komunitas pendidikan yang mengakui adanya kostumer untuk tiap keluaran pendidikan, tapi mutu pendidikan toh tak kunjung diperbaiki.
Kedua, keterlibatan total. Tiap orang mesti terlibat dalam transformasi mutu. Manajemen mesti memiliki komitmen untuk memfokuskan pada mutu. Seperti ditunjukkan dalam program mutu yakni manajemen administratif wilayah dan sekolah harus mendorong staf dan siswa untuk mengubah cara kerja yang selama ini dilakukannya. Tanpa adanya komitmen, program mutu tidak akan berhasil. Transformasi mutu diawali dengan mengadopsi paradigma baru pendidikan. Cara pikir dan cara kerja lama harus disingkirkan. Dalam bidang pendidikan, memang sungguh sulit bagi orang-orangnya untuk mengembangkan paradigma baru pendidikan. Ada dua keyakinan pokok yang menghalangi tiap upaya pencapaian mutu dalam sistem pendidikan. Pertama, banyak profesional pendidikan yakin bahwa mutu pendidikan bergantung pada besarnya dana yang dialokasikan untuk pendidikan. Studi kasus mutakhir meruntuhkan keyakinan ini. Sebuah tulisan di New Hampshire Union Leader mengidentifikasi beberapa kasus kenaikan persentase anggaran pendidikan yang jauh di atas tingkat inflasi. Lebih lanjut tulisan itu menyatakan bahwa mutu pendidikan meningkat karena naiknya anggaran. Lebih dari dekade lalu negara bagian Connecticut menginvestasikan jutaan dollar AS dalam sistem pendidikannya. Biaya pendidikan per siswa di Connecticut tertinggi secara nasional. Para guru dan administrator pun mendapat gaji yang tinggi, dan rasio sisw guru merupakan yang terendah secara nasional. Namun Connecticut tidak menyadari bahwa yang terpenting untuk diperbaiki adalah mutu pendidikan. Negara bagian itu dipermasalahkan soal banyaknya uang yang diinvestasikan dalam sistem pendidikan. Kedua, banyak profesional pendidikan yang tetap memandang pendidikan sebagai sebuah ‘’jaringan anak manis’’. Mereka bersikukuh untuk bertahan dari tarikan profesional nonpendidikan yang mempengaruhi perubahan sistem. Banyak profesional pendidikan secara terbuka menyatakan bahwa mereka memiliki komitmen terhadap transformasi mutu tapi tidak mengembangkan filosofi baru dalam pendidikan. Mutu pendidikan tidak akan mengalami perbaikan yang sgnifikan sampai ada penyelesaian terhadap kedua masalah tersebut.
Ketiga, pengukuran. Inilah justru yang sering gagal dilakukan di sekolah. Secara tradisional ukuran mutu atas keluaran sekolah adalah prestasi siswa. Ukuran dasarnya adalah hasil ujian. Bila hasil ujian bertambah baik, maka mutu pendidikan pun membaik. Para profesional pendidikan mesti belajar untuk mengukur mutu. Mereka perlu memahami pengumpulan dan analisa data yang diperlukan dalam proses yang sedang berlangsung. Begitu mereka belajar mengumpulkan dan menganalisa data, para profesional pendidikan itu pun dapat mengukur dan menunjukkan nilai tambah pendidikan.
Keempat, memandang pendidikan sebagai sistem. Pendidikan mesti dipandang sebagai sebuah sistem. Ini merupakan konsep yang amat sulit dipahami para profesional pendidikan. Umumnya, orang yang bekerja dalam bidang pendidikan memulai perbaikan sistem tanpa mengembangkan pemahaman yang penuh atas cara sistem tersebut bekerja. Dalam sebuah analisa rinci atas perguruan tinggi di Inggris belum lama ini, ternyata cukup mengejutkan. Perguruan tinggi itu tak punya catatan tertulis mengenai proses dan prosedur kerja. Fungsi-fungsi bisa berjalan lantaran memang selalu dijalankan. Hanya dengan memandang pendidikan sebagai sebuah sistem maka para profesional pendidikan dapat mengeliminasi pemborosan dari pendidikan dan dapat memperbaiki mutu setiap proses pendidikan.
Kelima, perbaikan berkelanjutan. Konsep dasarnya, mutu adalah segala sesuatu yang dapat diperbaiki. Menurut filosofi manajemen lama, ‘’kalau belum rusak, janganlah diperbaiki’’. Mutu didasarkan pada konsep bahwa setiap proses dapat diperbaiki dan tidak ada proses yang sempurna. Menurut filosofi manajemen yang baru, ‘’bila tidak rusak, perbaikilah, karena bila Anda tidak melakukannya orang lain pasti melakukannya’’. Inilah konsep perbaikan berkelanjutan.

3. Penutup
Berdasarkan beberapa uraian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
3.1 Pemberdayaan profesi guru atau pemberdayaan profesi dosen diselenggarakan melalui pengembangan diri yang dilakukan secara demokratis, berkeadilan, tidak diskriminatif, dan berkelanjutan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, kemajemukan bangsa, dan kode etik profesi.
3.2 guru yang berkualitas atau bermutu mampu menampilkan perilakunya. Pertama, bekerja dengan siswa secara individual. Kedua, persiapan dan perencanaan mengajar, Ketiga, pendayagunaan alat pelajaran. Keempat, melibatkan siswa dalam berbagai pengalaman. Kelima, kepemimpinan aktif dari guru.
3.3 Guru yang baik memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (1) guru yang waspada secara profesional, (2) mereka yakin akan nilai atau manfaat pekerjaannya, (3) mereka tidak leas tersinggung oleh larangan dalam hubungannya dengan kebebasan pribadi yang dikemukakan oleh beberapa orang untuk menggambarkan profesi keguruan, (4) mereka memiliki seni dalam hubungan manusiawi yang diperolehnya dari pengamatannya tentang bekerjanya secara psikologi, biologi dan antropologi kultural di dalam kelas dan, (5) mereka berkeinginan untuk terus tumbuh.
3.4 Pendidikan berbasis mutu hendaknya menerapkan hal-hal berikut: (1) anggota dewan sekolah dan administrator harus menetapkan tujuan mutu pendidikan yang akan dicapai, (2) menekankan pada upaya pencegahan kegagalan pada siswa, bukannya mendeteksi kegagalan setelah peristiwanya terjadi dan, (3) asal diterapkan secara ketat, penggunaan metode kontrol statistik dapat membantu memperbaiki outcomes siswa dan administrasi.






DAFTAR PUSTAKA

Jerome S. Arcaro. 1995. Quality in Education: An Implementation Handbook. United State of America: St. Lucie Press.
Kunandar. 2007. Guru Profesional: Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Persiapan Menghadapi Sertifikasi Guru. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Nurdin, Muhamad. 2008. Kiat Menjadi Guru Profesional. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Purwanto, Ngalim . 2002. Ilmu Pendidikan Teoretis dan Praktis. Bandung: Rosda Karya.
Sidi, Indra Djati. 2003. Menuju Masyarakat Belajar Menggagas Paradigma Baru Pendidikan. Jakarta: Paramadina.
Umaedi. 1999. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Jakarta: Depaertemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Direktorat Pendidikan Menengah Umum.

Selengkapnya...

Standar Sarana dan Prasarana Pendidikan

Standar Sarana dan Prasarana Pendidikan: "


Pemenuhan Standar Sarana dan Prasarana
Standar sarana dan prasarana merupakan kebutuhan utama sekolah juga yang harus terpenuhi sesuai dengan amanat UUSPN No 20 Th 200, PP No 19 Th 2005, dan Permendiknas No 24 Th 2007. Selain itu, juga harus memenuhi dari ketentuan pembakuan sarana dan prasarana pendidikan yang telah dijabarkan dalam: (1) Keputusan Mendiknas Nomor 129a/U/2004 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Pendidikan; (2) Pembakuan Bangunan dan Perabot Sekolah Menengah Pertama Tahun 2004 dari Direktorat Pembinaan SMP; dan (3) Panduan Pelaksanaan dan Panduan Teknis Program Subsidi Imbal Swadaya: Pembangunan Ruang Laboratorium Sekolah Tahun 2007 dari Direktorat Pembinaan SMP. Standar sarana dan prasarana pendidikan yang dimaksudkan di sini baik mengenai jumlah, jenis, volumen, luasan, dan Iain-lain sesuai dengan kategori atau tipe sekolahnya masing-masing.


Source :

Free Download Software and Review - IDONBIU.com
"




Selengkapnya...
Template by : kendhin x-template.blogspot.com